dwilogi satu nyawa
Ia tidak beruntung, namun ketidakberuntungan itu tidaklah membuatnya patah semangat untuk meneruskan mimpi-mimpinya belajar Bahasa Inggris. Ia jatuh kemudian bangun. Jatuh lagi lalu bangun lagi dan terus menerus seperti itu. Tak pernah sekalipun mengenal kata menyerah. Setiap lelah menghampiri, Enong sesekali menyiulkan lagu anak-anak berbahasa Inggris yang dulu pernah diajarkan Bu Nizam padanya: If you’re happy and you know it, clap your hands
Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas
Kisah ini bermula ketika siswi kelas enam SD yang biasa dipanggil Enong oleh teman-temannya itu dibelikan sebuah Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata. Bahasa Inggris adalah pelajaran favoritnya. Maka ia sangat senang ketika ayahnya menghadiahkan kamus itu dengan mengumpulkan uang dari jerih payahnya mengais sisa-sisa timah di bekas galian PN Timah.
Enong tiba-tiba harus melupakan sejenak akan kesenangannya belajar Bahasa Inggris. Kematian ayahnya yang menjadi titik anti-klimaks kehidupannya. Penyebabnya tidak lain karena dirinya sebagai anak tertua harus membanting tulang menghidupi keluarganya dan membiayai adik-adiknya untuk tetap bersekolah. Kehidupannya menjadi ujian yang sangat berat dan berkali-kali ia harus menerima perlakuan yang tidak adil dari masyarakat sekitar yang iri dan tidak suka kepadanya. Mulai dari para penambang timah yang mencuranginya, membuatnya harus berjibaku menghindari gong-gongan anjing seumur hidup, lalu si juru taksir timah yang culas kepadanya, dan mencapai klimaksnya yakni suaminya yang semena-mena terhadapnya. Sungguh cobaan hidup yang menggiriskan, kalau kata Ikal.
Kesengsaraan bertubi-tubi yang ia terima itu merupakan potongan-potongan mozaik yang masih berserakan, yang tidak ada seorang pun tahu bagaimana potongan-potongan tersebut akan menyatu dalam satu garis takdir yang telah Tuhan rancang kepada pendulang timah tersebut. Begitu mencengangkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar